BAB I
PENDAHULUAN
Setiap agama sangat menghargai nyawa manusia dan kita semua menyadari adanya hak asasi manusia. HAM tidak hanya dimiliki oleh terpidana mati, tetapi anak, isteri, orang tua korban dan orang-orang yang tidak berdosapun memiliki HAM. Pidana mati ibaratnya menghilang HAM satu orang untuk melindungi HAM sekian ribu orang. Oleh karenanya pidana mati masih perlu dipertahankan dalam undang-undang kita demi melindungi HAM itu sendiri. Hukuman mati selalu menjadi perdebatan menarik setiap kali terpidana mati dieksekusi. Pidana mati atau yang lebih dikenal sebagai hukuman mati, dewasa ini menjadi topik menarik dalam berbagai diskursus politik, kemanusiaan, akademik, hingga keagamaan. Fenomena hukuman mati begitu boomingseiring dengan bertambahnya jumlahnya orang yang dijerat pidana mati karena telah melakukan tindak pidana tertentu yang secara yuridis telah memenuhi syarat untuk dipidana dengan pidana mati. Hukuman mati tampil sebagai jargon yang sangat mengerikan. Betapa tidak, hak yang paling asasi, yaitu hak hidup, harus dirampas oleh tangan hukum yang memiliki jerat bagi siapa saja yang berani menantangnya. Hukuman mati memiliki turunan pelanggaran HAM serius lainnya, yaitu pelanggaran dalam bentuk tindak penyiksaan (psikologis), kejam dan tidak manusiawi. Hal ini bisa terjadi karena umumnya rentang antara vonis hukuman mati dengan eksekusinya berlangsung cukup lama. Tragisnya Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan mengadopsinya menjadi UU Anti Penyiksaan No.5/1998. Bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. Hukuman mati justru menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku. sampai saat ini bahkan kejahatan terorisme masih menjadi momok dan negara sama sekali tidak punya jawaban efektif atas persoalan ini.
BAB II
PEMBAHASAN
I. PRAKTEK HUKUMAN MATI DAN PERSPEKTIF KEMANUSIAAN (HAM) DI INDONESIA
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang masih menerapkan hukuman mati dalam aturan pidananya. Padahal, hingga Juni 2006, lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek hukuman mati baik secara de jure atau de facto. Di tengah kecenderungan global akan moratorium hukuman mati, praktek ini justru makin lazim diterapkan di Indonesia. Paling tidak selama empat tahun berturut-turut telah dilaksanakan eksekusi mati terhadap para 9 orang narapidana. Pro-kontra penerapan hukuman mati ini semakin menguat, karena tampak tak sejalan dengan komitmen Indonesia untuk tunduk pada kesepakatan internasional yang tertuang dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun, sebagaimana juga dijamin dalam konstitusi RI. Hal ini yang mendasari Kontras untuk terlibat aktif dalam upaya penghapusan hukuman mati di negeri ini, sekaligus sebagai penegasan sikap atas penghormatan hak hidup manusia. Hari Penghapusan Hukuman Mati Intenasional, 10 Oktober 2007 menjadi momentum untuk meluncurkan position paper ini. Di tingkat nasional, Kontras terlibat aktif melakukan kampanye penghapusan hukuman mati bersama dengan Koalisi Hapus Hukuman Mati (HATI). Sementara di tingkat regional KontraS juga merupakan salah satu anggota ADPAN (The Anti-Death Penalty Asia Network) yang menjadi anggota dalam koalisi global gerakan abolisi hukuman mati, World Coalition Against The Death Penalty. Catatan monitoring ini dilakukan sejak tahun 2005, dengan berdasarkan pada data-data primer dan sekunder dalam kerja advokasi yang dilakukan KontraS. Karena ketertutupan informasi mengenai hukuman mati di Indonesia, data-data yang disuguhkan adalah data-data hasil temuan Kontras. Sementara data sesungguhnya tidak dapat ditelusuri secara pasti, apalagi data dan informasi tentang penerapan hukuman mati di masa Orde Baru. Meski belum sempurna, kami berharap catatan ini dapat memberikan informasi tentang penerapan hukuman mati di Indonesia. Kami juga berharap catatan in dapat digunakan dalam melakukan kerja advokasi strategis untuk mendorong penghapusan hukuman mati di negeri ini.
Eksistensi pidana mati dalam sistem hukum pidana Indonesia tampaknya sulit untuk dihapuskan. Hal ini setidaknya dapat dibaca dari masih tetap dicantumkannya pidana mati sebagai salah satu bentuk pemidanaan dalam rancangan KUHP Indonesia. Dalam hukum Indonesia menetapkan bahwa pidana mati merupakan salah pidana pokok yang dijatuhkan kepada pelanggar hukum dan pelanggar HAM berat. Hal ini dapat kita lihat dari pasal 10 KUHP yang menyebutkan pidana mati sebagai salah satu jenis pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa berdasar bukti-bukti formil maupun materil yang ada. Meskipun secara normatif pidana mati ada dan memiliki kekuatan hukum atas vonis dan eksekusinya, akan tetapi perdebatan mengenai pidana mati tetap ada dan berkembang seiring dengan perubahan paradigma masyarakat akan pidana mati. Banyak orang yang mulai menanyakan apakah pidana mati masih layak atau relevan sebagai suatu hukuman di Indonesia? Bila ditilik lebih jauh, pertanyaan seperti itu sebenarnya muncul sebagai refleksi atas inkonsistensi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Orang-orang yang mempertanyakan legalitas hukuman mati mendasarkan argumentasinya pada pasal 28 A UUD 1945 yang menyebutkan, ‘setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya’. Harus diakui bahwa secara hermeneutik, pasal 28 A bertentangan dengan KUHP pasal 10 maupun pertauran perundang-undangan lain yang mengatur tentang pidana mati.
Ada beberapa pihak yang menyatakan jika pidana mati sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman, karena dari studi ilmiah terhadap hukuman-hukuman mati yang dilakukan beberapa lembaga di dunia pun menunjukkan bahwa hukuman mati gagal membuat jera dan tidak efektif dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya. Hasil survei PBB antara 1998 hingga 2002 tentang korelasi antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan menyebutkan hukuman tidak lebih baik daripada hukuman seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Hasil studi tersebut secara signifikan mempengaruhi keputusan beberapa negara untuk menghapuskan hukuman mati. Telah ada 129 negara yang menghapuskan hukuman mati dari sistem hukumnya, terdiri dari 88 negara menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kejahatan pidana biasa dan 29 negara melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati. Hingga saat ini tinggal 68 negara yang masih belum memberlakukan penghapusan hukuman mati, termasuk Indonesia.
Perspektif HAM adalah perspektif yang dianggap paling pas untuk menjustifikasi argumentasi sebagian orang yang menentang pidana mati. Dalam pengertian yang umum, HAM adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia karena martabatnya, sebagai anugerah dari sang Pencipta yang tidak boleh diganggu gugat orang atau pihak lain. Pemaknaan HAM yang sempit menyebabkan pihak-pihak yang menentang pidana mati lebih eksklusif dan mengabaikan perspektif lain. Hal yang dibahas saat ini adalah apakah pidana mati bertentangan dengan HAM?
Dalam UU No.31 tahun 1999 pasal 1 disebutkan ‘HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dari redaksi tersebut dapat dipahami bahwa tidak ada kontradiksi atau dikotomi antara pidana mati dengan HAM. Secara tegas disebutkan bahwa setiap orang wajib menghargai hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tindak pidana pembunuhan, terorisme, korupsi, makar, dan sebagainya adalah aktualisasi dari pelanggaran HAM yang sesungguhnya. Karena itu, untuk mengegakkan HAM, maka setiap pelanggaran harus ditindak dengan hukuman yang setimpal, termasuk pidana mati. Salah satu yang menarik di Indonesia adalah eksekusi atas vonis mati cenderung sangat lambat bahkan sering tidak tepat pada waktunya. Contoh yang paling realistis adalah eksekusi mati atas Amrozi cs yang dijadwalkan Agustus 2006 ditunda hingga mendapatkan titik terang kapan eksekusi tersebut akan dilaksanakan yaitu tahun 2008. Alasannya pun beragam, mulai dari masih adanya kesempatan untuk melakukan upaya hukum lanjutan hingga alasan-alasan lain yang secara normatif cenderung apologistik.
Secara umum, di Indonesia terdapat dua paradigma mengenai implementasi pidana mati :
· Pertama, paradigma yang menganggap bahwa implementasi pidana mati sangat bertentangan dengan asas dalam HAM. Hak hidup adalah hak yang paling asasi dan tidak seorang pun memiliki wewenang untuk mengganggu atau bahkan menghilangkannya. Hak hidup adalah hak dasar yang melekat langsung pada setiap manusia dan merupakan anugerah yang paling dasar yang diberikan oleh sang Pencipta.
· Kedua, paradigma yang menganggap bahwa pidana mati memiliki legalitas dan kekuatan hukum yang mengikat. Perundang-undangan yang ada telah menyebut dengan tegas bahwa tindak pidana tertentu akan dijatuhi vonis mati. Jadi, pada dasarnya pidana mati hanya dijatuhkan pada pelaku kejahatan tertentu dengan tingkat kriminalitas yang sangat berat. Pidana mati tidaklah bertentangan dengan HAM, justru pidana mati menjaga eksistensi manusia, karena dengan ancaman seberat itu, sesorang akan berpikir ulang jika ingin mengganggu bahkan menghilangkan hak hidup orang lain.
Pertentangan paradigma diatas sejujurnya merupakan sebuah dinamika yang wajar dalam alam demokrasi. Akan tetapi, pertentangan tersebut harus dilihat sebagai sebuah upaya pengungkapan wacana dan argumentasi masing-masing atas pidana mati berdasarkan perspektif masing-masing. Pertentangan tersebut bukanlah upaya untuk melegalkan pidana mati, namun juga bukan merupakan upaya untuk menghapus pidana mati, sebab bagaimana pun juga aturan normatif negara ini melegalkan pidana mati, dan sebagai warga negara yang baik harus taas pada aturan yang berlaku. Hal terpenting saat ini adalah bagaimana melaksanakan fungsi kontrol masyarakat atas implementasi pidana mati di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang dipaparkan di BAB II, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu :
· Negara Indonesia masih belum memberlakukan penghapusan pidana hukuman mati, meskipun masih membawa pro dan kontra di masyarakat.
· Dalam hukum Indonesia menetapkan bahwa pidana mati merupakan salah pidana pokok yang dijatuhkan kepada pelanggar hukum dan pelanggar HAM berat. Hal ini dapat kita lihat dari pasal 10 KUHP yang menyebutkan pidana mati sebagai salah satu jenis pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa berdasar bukti-bukti formil maupun materil yang ada. Tindak pidana pembunuhan, terorisme, korupsi, makar, dan sebagainya adalah aktualisasi dari pelanggaran HAM yang sesungguhnya. Karena itu, untuk mengegakkan HAM, maka setiap pelanggaran harus ditindak dengan hukuman yang setimpal.
· Secara umum, di Indonesia terdapat dua paradigma mengenai implementasi pidana mati:
1. Pertama, paradigma yang menganggap bahwa implementasi pidana mati sangat bertentangan dengan asas dalam HAM. Hak hidup adalah hak yang paling asasi dan tidak seorang pun memiliki wewenang untuk mengganggu atau bahkan menghilangkannya. Hak hidup adalah hak dasar yang melekat langsung pada setiap manusia dan merupakan anugerah yang paling dasar yang diberikan oleh sang Pencipta.
2. Kedua, paradigma yang menganggap bahwa pidana mati memiliki legalitas dan kekuatan hukum yang mengikat. Perundang-undangan yang ada telah menyebut dengan tegas bahwa tindak pidana tertentu akan dijatuhi vonis mati. Jadi, pada dasarnya pidana mati hanya dijatuhkan pada pelaku kejahatan tertentu dengan tingkat kriminalitas yang sangat berat. Pidana mati tidaklah bertentangan dengan HAM, justru pidana mati menjaga eksistensi manusia, karena dengan ancaman seberat itu, sesorang akan berpikir ulang jika ingin mengganggu bahkan menghilangkan hak hidup orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Arizona, Y. 2008. Hak Asasi Manusia (Online). (http://yancearizona. wordpress.com/2008/04/18/positivisasi-hak-asasi-manusia/, diakses 6 Mei 2011).
Lubis, Zulfikri Zein.2011. Hukuman mati. http://inclaw-hukum.com/index.php/hukum-pidana/85-hukuman-mati.: Diakses pada tanggal 6 Mei 2011
_2009. Hak Asasi Manusia: Nilai, Pelanggaran dan Pengadilan HAM http://natsirasnawi.blogspot.com/2009/01/hak-asasi-manusia-nilai-pelanggaran-dan.htm. Diakses pada tanggal 6 Mei 2011